Rabu, 22 Desember 2010

MAKNA FILOSOFI GUNUNG MERAPI, KRATON DAN LAUT SELATAN


Dengan konsepsi filosofinya, tata ruang Kraton dengan adanya tugu golong gilig di utara dan Panggung Krapyak di selatan menggambarkan Lingga dan Yoni yang bermakna kesuburan. Antara Tugu, Kraton dan Panggung Krapyak yang satu garis lurus merupakan sumbu filosofinya Kraton Yogyakarta.
Dikatakan sumbu filosofi karena garis penghubung Tugu, Kraton dan Panggung Krapyak merupakan sumbu yang nyata yang berupa jalan. Adapun sebagai sumbu imajinernya adalah dari Gunung Merapi, Kraton, dan Laut Selatan.

Mengingat Sultan Hamengkubuwono I yang juga sebagai Sayidin Panatagama Kalifatullah, maka konsep kosmogoni yang berbau Hinduistis tersebut diubah menjadi konsep filosofi islam dan budaya jawa. Hubungan antara Panggung Krapyak, Kraton dan Tugu merupakan konsep filosofi Sangkan Paraning Dumadi.
Sedang hubungan Gunung Merapi, Kraton dan Laut Selatan merupakan konsep Manunggaling Kawulo Gusti, begitu papar KRT Widya Anindita seperti di lansir Harian Kedaulatan Rakyat.
Dari Panggung Krapyak ke utara sampai Kraton menggambarkan seorang bayi sejak lahir dari rahim sang ibu, menginjak dewasa, berumah tangga, sampai melahirkan kembali. Oleh karenanya disisi barat laut Panggung Krapyak, terdapat kampung Mijen yang berarti “wiji” atau benih manusia. Dan tanaman disekitarnya adalah pohon Asem dan Tanjung. Daun asem yang masih muda namanya Sinom sehingga makna simbolisnya adalah gadis yang masih anom ( muda ) akan menimbulkan rasa sengsem ( tertarik ) bagi lawan jenisnya sehingga ia akan di sanjung.
Dari Tugu ke Kraton adalah melambangkan perjalanan manusia menghadap sang khalik. Untuk itu seharusnya jangan ada penggantian nama jalan di wilayah itu. Contohnya jalan P. Mangkubumi yang dulu bernama Margotomo yang berarti jalan menuju keutamaan. Kemudian disambung dengan jalan Malioboro yang bermakna nganggo obor ajaraning para wali. Dan jalan Ahmad Yani itu dulu bernama jalan Margomulyo berasal dari kata Margo yang berarti jalan dan Mulyo yang berarti kemuliaan. Sedang yang sekarang Jalan Trikora itu dahulu bernama Pangurakan yang berasal dari kata “urak” yang berarti nggusah atau mengusir. Apa yang di usir? Yang diusir adalah nafsu yang kurang baik. Bagi setiap insan yang mau menghadap sang khalik, harus didasari dengan kesucian hati.

Jenis tanaman yang tumbuh sekelilinya juga tidak perlu diubah karena memiliki filosofi, dahulu disepanjang jalan Malioboro ditanami pohon Gayam ( ayom ) dan Asem ( sengsem ). Ditambahkan kerabat Kraton yang lain KRT H Jatiningrat ( RM Tirun Marwoto SH ) sebetulnya disekitar antara Tugu hingga kantor pos dulu ditumbuhi pohon asem dan gayam. Hal ini adalah cara Sultan Hamengkubuwono I mengharapkan sesuatu dengan ridho Allah agar ayom-ayem dan sengsem. Untuk itu masyarakat yang tinggal di Yogya pasti krasan karena di ayomi oleh pemimpinnya. Istilahnya seneng atine mergo diayomi ratune.

Ini sebenarnya persis dengan do’a Ibrahim ketika membangun Ka’bah agar masyarakat datang berdo’a. Sedang Sultan Hamengkubuwono I dengan symbol itu dan berharap kota menjadi ayom, ayem dan tentrem. Dan sepertinya berhasil, terbukti banyak orang yang kemudian datang ke Jogja dan menetap disana.@@ ( Sumber: Kedaulatan Rakyat )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar