Kamis, 24 Januari 2013

JALAN TRIKORA YANG BERNILAI HISTORIS DAN FILOSOFIS



Jalan Trikora sangat mungkin menjadi jalan protokol terpendek di kota Jogja, lebih pendek dari jalan Malioboro yang panjangnya  kurang lebih hanya satu kilometer. Panjang jalan ini mungkin kurang dari 200 meter, tetapi mengingat tempatnya sangat strategis, jalan ini memiliki nilai historis dan filosofis yang sangat tinggi. Berada persis di depan alun-alun utara Kraton Jogja,  jalan ini menjadi sangat penting karena menjadi jalan masuk ke kraton dari arah depan dan merupakan bagian dari bagan garis imajiner dari Kraton ke tugu di utara yang tersambung dengan jalan Ahmad Yani, jalan Malioboro dan jalan Pangeran Mangkubumi. Seperti pernah saya tulis dalam blog ini, dari Kraton ke tugu di utara merupakan bagan yang memiliki makna filosofi  Sangkan paraning dumadi yang kira-kira berarti asal-usul kehidupan manusia dan tujuan asasi hidupnya
Bernilai historis karena di seputaran tempat ini masih banyak bangunan-bangunan bersejarah yang masih sangat terawat. Seperti Gedung Agung, Benteng Vrederburg, Kantor Pos Besar, dan Bank Indonesia. Lebih dari itu dahulu disini juga merupakan medan pertempuran saat Belanda mencoba menduduki kembali kota Yogyakarta. Pertempuran Serangan Umum 1 Maret 1949 atau yang dikenal dengan pertempuran 6 jam di Jogja itu kini ditandai dengan Monumen So 1 Maret di seberang kantor pos besar. Tempat ini semakin memiliki nila historis saat ibukota Negara pindah ke Jogja tempat ini juga menjadi   
Bernilai filosofis sebab jalan Trikora dahulu bernama jalan Pangurakan. Dari kata urak atau nggusah yang berarti mengusir. Apa yang diusir? Di sini awalnya terdapat Gapura Gladag sebagai pintu Gerbang Utama menuju komplek kraton. Beberapa meter sebelah selatannya terdapat Gapura Pangurakan. Pada zamannya dulu Pangurakan merupakan tempat peyerahan suatu daftar jaga (gerbang pos penjagaan). Atau tempat pengusiran dari kota bagi mereka yang mendapat hukuman/pengasingan, atau mengusir orang-orang yang tidak dikehendaki masuk ke komplek kraton. Tetapi  kalau dihubungkan dengan konsepsi filosofi pembangunan kraton, yang diusir bisa juga nafsu yang tidak baik dalam diri manusia. Ini berkaitan dengan garis lurus antara kraton hingga ke tugu yang memiliki makna filosofi Sangkan paraning dumadi, di mana setiap manusia pasti akan menghadap Sang Khalik, sehingga harus mensucikan diri, membersihkan hati dengan mengusir nafsu yang tidak baik yang ada di dalam dirinya. Di sepanjang jalan ini dulu juga ditanami pohon gayam dan pohon asem. Gayam melambangkan ayom (teduh), ayem (tenteram) dan asem melambangkan sengsem (tertarik). Dengan harapan kraton (Jogja) itu menjadi daerah yang ayom, ayem, tentrem, dan sengsem, teduh, tenteram dan juga menarik. @@