Jumat, 17 Maret 2017

STELLA FARRYNA BINTI ROMLAH

Hari Senin jam 08.00 pagi, seperti biasa Jakarta macet total. Antrian panjang kendaraan bermotor baik roda dua atau roda empat terjadi di setiap perempatan jalan di seluruh pelosok Jakarta. Tak terkecuali di bilangan Kuningan Jakarta Selatan, salah satu kawasan perkantoran tersibuk di ibu kota. Di situ berdiri megah gedung-gedung perkantoran yang tinggi menjulang. Sebagai kawasan bisnis, tak heran bila disana juga berdiri megah hotel-hotel bintang lima, apartemen dan tentu shopping mall. Semakin siang, kemacetan akan semakin panjang dengan keberadaan kantor-kantor kedutaan asing di sepanjang jl. HR Rasuna Said.

Sebuah mobil Daihatsu Xenia warna hitam, lolos dari kemacetan memasuki sebuah pelataran parkir di sebuah gedung perkantoran tak jauh dari Menara Imperium. Seorang perempuan muda dengan kaca mata gelap keluar dari mobil, menenteng tas hitam yang berisi lap top yang super canggih, hand phone keluaran terbaru dan file holder yang berisi beberapa lembar kertas. Namanya Stella Farryna, sekertaris direksi pada perusahaan asuransi swasta nasional yang cukup ternama. Sebagai executive muda, tentu dia sudah akrab dengan pergaulan high class dan gaya hidup metropolitan ala ibu kota. Shopping di mall, dinner di restauran bintang lima, nongkrong di cafe, perawatan tubuh di salon atau spa, clubbing, dan menikmati week end di Bali atau pantai Carita.

Tinggal di apartemen kelas menengah, mbak Stella ingin membuktikan bahwa ia bukan orang sembarangan. Ia ingin membuktikan bahwa ia mampu exis, di tengan persaingan Jakarta yang sangat ketat, bahkan kejam. Sukses meniti karir adalah impiannya, membuat simboknya di kampung bahagia adalah impiannya yang lain. Dan kerja keras yang tak kenal lelah pun terbayar sudah, dengan menduduki jabatan bergengsi sperti yang di sandangnya sekarang.

Tak ada orang yang tahu, dibalik kesuksesannya, mbak Stella mengunci rapat identitas diri yang sebenarnya. Terlahir dengan nama asli Siti Parinah, anak dari yu Romlah, penjual SGPC alias sego pecel yang sering mangkal di stasiun Kroya, Cilacap jawa tengah. Ia memutuskan untuk mengganti namanya, karena nama pemberian dari orang tuanya itu dianggap terlalu ndeso alias kampungan. Tidak komersial, tidak laku dijual di Jakarta. Merantau ke Jakarta bermodal ijazah SMP, Siti Parinah bekerja sebagai baby sitter pada keluarga orang asing di Jakarta. Seorang bule berkebangsaan Jerman, yang bekerja pada sebuah perusahaan pertambangan.

Nasibnya sungguh mujur, sama sang bule ia diajari bahasa inggris dan di kursuskan komputer, bahkan pada suatu kesempatan, ia bisa ikut ujian persamaan SMA. Tiga tahun kemudian pada saat sang majikan mengakhiri tugasnya di Jakarta, dan pulang ke negaranya, Siti Parinah sudah terlanjur lancar cas, cis, cus. Dan ketrampilannya mengoperasikan kotak ajaib yang bernama komputer pun tidak di ragukan lagi. Karena jasa sang majikan pula, ia mengenal internet dengan segala macam seluk-beluknya. Sebelum pulang ke negaranya, sang bule pun tidak ragu untuk menitipkan ia pada seorang temannya yang menjadi direktur sebuah perusahaan asuransi. Memulai bekerja sebagai staff biasa, ia memang dikenal sebagai pekerja keras, rajin, ulet, dan sangat loyal. Ia terus mengembangkan diri dengan mengikuti berbagai kursus, seminar, workshop dan kuliah-kuliah singkat, yang pada kemudian hari terbukti mampu mendongkrak karirnya. Segala usaha dan kerja kerasnya tidak sia-sia, hingga ia mampu menduduki posisi mentereng seperti sekarang ini.

Tetapi mengapa namanya mesti diganti..? Memangnya kalau ingin sukses di Jakarta harus pakai nama yang komersial, nama ndesonya diganti dengan nama yang lebih marketable. Siti jadi Stella, Parinah jadi Farryna. Orang jaman sekarang ini suka aneh, nama saja kok di perso'alkan. Sukanya faktor luaran saja, lebih suka kulit dari pada isinya. Namanya saja yang bagus, tapi otaknya suka ngeres. Badannya saja yang bersih, tapi mulutnya suka makan yang kotor-kotor, hasil mencuri, menjarah, merampok, korupsi dan sejenisnya. Kisah Siti Parinah alias Stella Farryna, mengingatkan saya akan cerita kuno yang dulu sering didongengkan mbah buyut, waktu saya masih kecil. Cerita tentang Kere munggah mbale...@@.