Setelah terjadinya
perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 yang membagi kerajaan Mataram
menjadi dua bagian barat dan timur, Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan
Surakarta, maka Pangeran Mangkubumi sebagai raja pertama Kasultanan
Ngayogyakarta yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I langsung
membangun ibukota baru berikut istananya.
Pembangunan ibu kota
dan istananya itu dimulai pada tanggal 9 Oktober 1755 di sebuah tempat bernama
Umbul Pachethokan, kawasan hutan Paberingan yang kemudian bernama Ayodya atau
Ngayogya, atau kini lebih dikenal sebagai Yogyakarta. Selama pembangunan Sultan
beserta keluarga tinggal di pesanggrahan Ambarketawang di Gamping sebelah barat
Yogya. Kemudian dibangun pula bangunan-bangunan lain. Kraton dikelilingi tembok
tebal yang kemudian di kenal sebagai benteng Baluwerti. Di dalamnya terdapat
aneka bangunan dengan rupa dan fungsi
yang berbeda. Bangunan tempat kediaman Sultan dan kerabatnya disebut Prabayeksa
yang selesai dibangun pada tahun 1756. Kemudian menyususul banguan Siti Hinggil
dan Bangsal Pagelaran selesai pada tahun 1757. Sedang Regol Donopratopo dan
Bangsal Kamagangan selesai dibangun pada tahun 1761 dan 1763. Masjid agung dibangun pada tahun 1771.
Benteng besar yang mengelilingi kraton selesai dibangun pada tahun 1777.
Bangsal Kencono selesai dibangun pada tahun 1792, dan seterusnya istana kraton
Yogyakarta terus berkembang seiring berjalannya waktu.
Melihat perkembangan
kraton yang sangat pesat itulah kemudian pihak Belanda mulai merasa was-was dan
khawatir, bila suatu saat kelak Sultan berbalik arah dan tidak mau bekerja sama,
bahkan mengusir Belanda. Dari situlah kemudian pihak Belanda meminta izin
kepada Sultan untuk mendirikan sebuah benteng di dekat kraton. Belanda berdalih
agar bisa menjaga dan memelihara keamanan kraton dan sekitarnya. Namun demikian
niat yang sesungguhnya dari pihak Belanda adalah agar bisa mengontrol setiap
perkembangan yang terjadi di lingkungan kraton, lebih-lebih segala kegiatan
Sultan. Lokasi pendirian benteng yang sangat dekat bahkan hanya berjarak satu
tembakan meriam dari kraton, dan juga letaknya yang menghadap jalan utama yang
menuju ke kraton merupakan indikasi kuat bila fungsi benteng yang sebenarnya
adalah benteng strategi, intimidasi, bahkan blokade. Benteng tersebut merupakan
tempat menyerang atau bertahan bila suatu saat Sultan memalingkan muka dari
Belanda.
Sebelum dibangun
dilokasi yang sekarang berdiri museum benteng Vredeburg Yogyakarta, dahulu pada
tahun 1760 atas permintaan Belanda, Sultan sudah membangun benteng yang sangat
sederhana yang berbentuk bujur sangkar dan di keempat sudutnya dibuat tempat
penjagaan yang disebut Seleka dan Bastion. Oleh Sultan keempat sudut itu diberi
nama Jaya (sudut barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut),
Jayaprakosaningprang (sudut barat daya), dan Jayaprayitna (sudut tenggara).
Pada awal berdirinya
benteng tersebut masih sangat sederhana dimana temboknya hanya terbuat dari
tanah dan deperkuat dengan tiang-tiang dari kayu. Tetapi ketika WH Ossenbrech menggantikan
Nicolas Hartingh pada tahun 1765, ia mengusulkan kepada Sultan agar bangunan
benteng diperkuat menjadi bangunan yang permanen agar lebih bisa menjamin
keamanan kraton. Usul tersebut dikabulkan dan kemudian pembangunan benteng
diserahkan dibawah pengawasan seorang ahli bangunan dari Belanda bernama Ir Frans
Haak. Pada tahun 1767 pembangunan benteng di mulai, tetapi berjalan sangat
lambat dan baru selesai pada 20 tahun kemudian pada tahun 1787, sebab dalam
waktu bersamaan Sultan juga baru sibuk membangun kraton. Benteng tersebut
kemudian dinamakan Rustenberg yang berarti benteng peristirahatan.
Tetapi pada tahun 1867
terjadi gempa hebat di kawasan Yogyakarta yang banyak merobohkan berbagai
bangunan besar seperti gedung Residen, Tugu Pal Putih dan juga benteng
Rustenberg. Bangunan yang mengalami kerusakan segera dibangun kembali termasuk
benteng Rustenberg, setelah selesai dibangun kembali benteng Rustenberg diganti
nama menjadi benteng Vredeburg yang berarti benteng Perdamaian, nama ini
diambil sebagai manifestasi hubungan baik antara Kasultanan Yogyakarta dengan
pihak Belanda.
Bentuk benteng
dipertahankan seperti awalnya yang terdapat penjagaan disetiap sudutnya. Pintu
gerbang menghadap barat dan dikelilingi oleh parit. Di dalamnya terdapat aneka
bangunan dengan aneka fungsi seperti rumah perwira, mess prajurit, gudang
logistic, gudang mesiu, klinik prajurit dan rumah residen. ( Sumber: Situs Musium
B. Vredeburg, Wikipedia, Sumber lain )
TRIM'S ATAS INFONYA
BalasHapus