Selasa, 27 Juli 2010

GUNUNG MERAPI : ANTARA FILOSOFI, KEINDAHAN ALAM DAN MITOS


Pemandangan yang menyejukkan ini adalah Plunyon, sebagian kecil panorama indah yang disuguhkan Gunung Merapi. Dan ada banyak tempat-tempat lain yang sudah banyak dikenal orang semisal Kaliurang atau Kaliadem. Gunung Merapi yang terletak di empat kabupaten yakni Sleman, Magelang, Klaten dan Boyolali ini memang banyak menyimpan potensi sekalugus ancaman. Bagi penduduk setempat, tanahnya yang sangat subur adalah ladang kehidupan mereka. Tak heran desa-desa di lereng Merapi mencapai ketinggian hingga 1700 an meter.

Gunung berapi aktif yang terletak kurang lebih 30 km utara kota Jogja ini juga termasuk gunung api paling aktif di dunia. Menurut catatan sejak tahun 1548 gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali, dan letusan terakhir pada tahun 2010, yang menyebabkan semburan awan panas, atau penduduk setempat menyebutnya sebagai wedus gembel,dan muntahan matreal vulkanik yang berupa pasir, kerikil dan batu. Letusan kali ini menjadi letusan terbesar setelah lebih dari 130 tahun, dan menelan korban jiwa lebih dari 300 jiwa, termasuk sang juru kunci yaitu Mas Penewu Suraksohargo atau yang lebih dikenal sebagai mbah Marijan.
Gunung yang memiliki ketinggian hingga 2968 meter diatas permukaan laut ini erat sekali dengan banyak mitos yang melingkupinya. Salah satunya adalah mitos tentang Nyai Gadung Melati, hantu cantik penunggu dan penjaga gunung Merapi atau mbah Petruk yang banyak di muat media saat gunung Merapi meletus.

Gunung Merapi juga sangat berkaitan erat dengan sejarah keberadaan kota Jogja, dengan Keraton sebagai pusatnya. Masyarakat Jawa sangat percaya bila kehidupan di dunia ini merupakan harmonisasi antara makrokosmos ( jagad besar ) dan mikrokosmos ( jagad kecil ). Laut selatan, Kraton, dan gunung Merapi adalah kesatuan yang tak bisa di pisahkan. Ketiganya membentuk garis lurus yang konon merupakan sumbu imaginer yang bermakna filosofi manunggaling kawula gusti. Gunung Merapi dan laut selatan konon dipercaya sebagai pusat kedudukan jagad cilik, sedang keraton merupakan pusat kedudukan jagad gede, dan semua harus seimbang. Maka dari itu, tempat ini sangat layak untuk anda jadikan proritas kunjungan anda, bila anda berkunjung ke Jogja. Untuk informasi tentang Gunung Merapi secara lengkap anda bisa mengunjungi musium gunung Merapi. Banyak informasi yang bisa anda akses, termasuk beberapa legenda dan mitos yang berkembang di masyarakat, seputar gunung Merapi serta kosmologi gunung ini.@

Senin, 26 Juli 2010

CANDI BANYUNIBO : SI CANTIK YANG TERLUPAKAN


Salah satu daya tarik Jogja sebagai kota wisata adalah keberadaan candi. Candi Prambanan misalnya, telah diakui sebagai warisan budaya adi luhung dunia. Tak jauh dari komplek candi Prambanan ada candi mungil yang cantik, dan sering terlupakan oleh para wisatawan yang berkunjung ke Jogja. Candi Banyunibo, candi mungil nan cantik ini terletak di desa Cepit, Bokoharjo, Prambanan atau selatan komplek situs Ratu Boko. Candi yang terletak di dataran yang di kelilingi bukit-bukit ini memiliki pemandangan yang sangat indah. Letaknya yang tidak jauh dari jalan raya Prambanan-Piyungan sangat mudah untuk dikunjungi. Candi buda yang selesai di pugar tahun 1962, ini terdiri dari satu candi induk dan enam candi perwara. Candi yang atapnya berupa sebuah stupa ini memiliki tinggi14,25 meter. Anda teratrik untuk mengunjunginya..? Selamat berwisata.

Rabu, 21 Juli 2010

YANG RENTA YANG MERANA

Berada di gang sempit kawasan kumuh padat penduduk, Senen Jakarta pusat tempat kost saya kala itu berada. Suatu wilayah yang saat itu juga terkenal sebagai sarang noarkoba dan kriminal. Salah satu kawasan hitam ibu kota. Maklum sebagai kaum urban berpendidikan rendah seperti saya, tentu sangat sulit untuk bisa bekerja di perusahaan yang besar, dengan gaji yang memadai dan tinggal di tempat kost yang layak. Untuk bisa bertahan di tempat seperti itu saja sulit bukan main dan perlu perjuangan yang sangat dahsyat.

Ruangan berukuran 3x2 meter persegi, berdinding triplek bekas dengan atap seng bekas pula itu, sangat tidak layak untuk disebut rumah. Bangunan bertingkat semi permanen itu difungsikan untuk tempat kost dan kantor sebuah yayasan yang mengurusi orang-orang jompo., Bukan panti jompo, karena orang-orang jompo yang di urus tidak berada di situ.

Sebut saja nenek Nah, seorang jompo yang bernasib kurang baik. Kurang jelas apa alasannya, karena satu dan lain hal nenek Nah harus tinggal di situ. Padahal tempatnya sangat tidak layak untuk orang seusianya. Tidak ada ruang dan pelayanan yang nyaman, sebab tempat itu sebenarnya kantor dan sekaligus dapur. Yang ada hanya mang Cecep dan keluarganya. Pria kelahiran Sukabumi itu memang yang diserahi tugas untuk mengurusi kantor itu. Nenek renta yang menurut perkiraan saya sudah berusia lebih dari 80 tahun itu malang benar nasibnya. Pada detik-detik terakhir masa hidupnya ia harus terpisah dari keluarga, jauh dari anak cucu, dan tinggal pada tempat yang bagi saya amat menyakitkan itu. Bagaimana tidak, tidur, makan, minum dan melakukan semua aktifitas di tempat yang kotor. Bahkan seringkali sang nenek terlihat meringkuk tertidur pulas di lantai tanpa alas apapun, di ruang tanpa sekat dan tanpa daun jendela lengkap dengan sengatan sinar matahari dan siraman air tatkala hujan.

Mang Cecep sendiri tidak bisa berbuat banyak, dan saya tahu betul ia sudah bekerja maksimal. Dan ia juga tidak bisa mengandalkan pekerjaannya sebagai office boy pada yayasan tersebut. Sebab penghasilannya dari tempat itu sangat tidak mencukupi untuk menghidupi seisi keluarga, istri dan dua orang anaknya. Untuk menjaga agar dapurnya tetap bisa berasap, ia harus double job sebagai tukang parkir dan penjaga malam pada rumah orang cina kaya yang tak jauh dari situ. Seperti kebanyakan orang kecil lainnya, untuk bisa bertahan hidup di Jakarta mereka harus kreatif, melakukan apa saja, menyulap dirinya menjadi orang yang multi talenta.Beragam profesi mereka jalani mulai dari office boy, tukang becak, tukang parkir, tukang jaga malam, bahkan memulung barang rongsokan.

Suatu malam saat saya sedang santai di balkon atas, menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok, ia sempat bercerita tentang Nenek Nah yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Sebenarnya ia sudah memberitahukan akan hal itu kepada keluarganya, tetapi tidak ada respon. Dan kelihatan sekali ia sangat kecewa dengan keadaan tersebut. Seminggu kemudian, pada hari menjelang petang, di tengah hujan rintik yang mengguyur Jakarta, nenek Nah meninggal dunia. Inalillahi wainaillaihi roji'un. Setiap yang datang dari-Nya pasti akan kembali kepada-Nya.

Mang Cecep kembali menemui keluarga sang nenek. Saya agak terkejut dan sekaligus keheranan ketika ia kembali dengan berlinangan air mata, dihadapan saya bahkan tangisannya semakin keras dan semakin jadi. Seolah-olah yang meninggal adalah orang tuanya sendiri. Usut punya usut ternyata ia mendapatkan jawaban yang mengejutkan dari anak almarhumah. Anak nenek Nah mengatakan tidak sanggup mengurusi jenazah ibunya itu. Duit dari mana untuk mengurus jenazah, sedang untuk makan sehari-hari saja sulit. Begitu mang Cecep menirukan kata-kata anak nenek Nah dengan terbata-bata.
Betapa amat sangat durhakanya anak itu. Terhadap ibu yang telah melahirkannya kedunia ini, ia berbuat setega itu. Sudah semasa hidup tidak mau mengurusi, setelah meninggal pun ia cuci tangan lari adri tanggung jawab. Kebiadapan macam apalagi ini..? Mungkinkah ini bagian dari kebiadapan ibu kota..? Entahlah.

Akhirnya dengan bantuan sana-sini, jenazah nenek Nah bisa dimakamkan dengan layak tanpa harus melibatkan keluarganya. Selamat jalan nenek Nah, semoga Allah swt mengampuni segala dosa-dosamu, menerima semua amal baikmu, dan memberimu tempat yang baik, jauh lebih baik dari tempatmu didunia yang menyakitkan itu. Ammiiiin.@@

Minggu, 18 Juli 2010

PANTAI KUKUP : KEINDAHAN YANG TERSEMBUNYI


Indah bukan..? Keindahan pantai ini seringkali luput dari perhatian atau kunjungan wisatawan yang berkunjung ke kota Jogja. Untuk itu jika suatu saat anda berkunjung ke kota Jogja, saya berharap anda dapat meluangkan waktu untuk pergi ke sana. Letaknya yang cukup jauh dari kota Jogja, membuat pantai ini sering terlupakan. Berada di kecamatan Tanjung Sari kabupaten Gunung Kidul pantai ini menyuguhkan panorama yang sangat indah. Hamparan laut yang biru, dengan pasir putihnya saya yakin akan memuaskan anda. Apalagi bagi anda yang tiap hari disibukkan oleh rutinitas yang padat dan membosankan, tempat ini akan membuat anda menjadi fresh kembali. Terletak kurang lebih 60 km, arah tenggara kota Jogja, atau kurang lebih 24 km arah selatan kota Wonosari, ibu kota kabupaten Gunung Kidul. Tempat ini bisa di kunjungi dengan kendaraan pribadi atau angkutan umum. Kalau anda menggunakan kendaraan umum, dari kota Jogja anda naik bus jurusan Wonosari, kemudian dari sini anda berganti kendaraan mikrobus yang menuju ke pantai Baron. Pantai ini terletak satu gugus dengan pantai Baron dan pantai Krakal. Anda tertarik untuk kesana..? Selamat berwisata. Semoga perjalanan anda menyenangkan.

Selasa, 13 Juli 2010

RUMAH KECIL PENUH CINTA

Sebuah bus antar kota antar propinsi PO Raharja kelas ekonomi jurusan Klaten-Jogja-Jakarta memasuki sebuah restoran di Karang Anyar, Kebumen jawa tengah. "Waktunya istirahat........" teriak sang kernet kepada seluruh penumpang. Seorang suami-istri, Karjimin dan Sumini terlihat masih sibuk membenahi dua kardus besar yang tali-talinya hampir lepas. Ketika saya tanya apa isinya kardus-kardus itu, ia menjawab; "Isinya emping mas, pesenan ndoro jenderal, majikan saya di Jakarta sana....". Hebat benar orang ini, sudah ndoro, jenderal pula, gumam saya dalam hati. Ndoro adalah singkatan dari bandoro yang menandakan bahwa si pemilik nama adalah seorang bangsawan, trahing kusuma rembesing madu. Sedang jenderal adalah puncak kepangkatan dalam militer. Kemudian ia menceritakan panjang lebar tentang juragannya itu. Sudah hampir 12 tahun ini, saya dan istri saya ngenger jadi pembantu di rumah beliau. Orangnya sangat baik, pintar dan halus, maklum piyantun asli Solo. Disamping pangkatnya yang tinggi, beliau itu juga kaya-raya. Di Jakarta sana beliau punya tiga rumah. Di Cilandak, di Pondok Indah dan yang ditempatinya sekarang di bilangan Kelapa Gading. Beliau juga kagungan griya di Solo sana. Mobilnya tiga, sebuah sedan Volvo, Toyota Land Cruisser, serta Kia Carrens, mobil dinas dari kantor. Saya dengar beliau itu juga punya kebun kakao di Sumatra sana, dan saham di beberapa perusahaan nasional ternama.

Tetapi sayang, beliau itu hidupnya kurang lengkap, ceritanya kemudian. Kurang lengkap bagaimana pak, saya bertanya penuh penasaran. Beliau itu belum berkeluarga, belum menikah, padahal usianya sudah setengah abad. Ooo.....,bisik saya dalam hati. Dahulu beliau itu suka mengeluh sama saya, ya kalau anak sekarang bilangnya curhat gitu. Ditengah hidupnya yang mapan, sukses dengan jabatan dan pangkat yang tinggi, serta kekayaan yang berlimpah, beliau sering merasa kesepian. Bahkan lebih dari itu, sering merasa bosan. Sering sekali, beliau tak bisa menyembunyikan perasaannya. Terasa sekali hidupnya ada yang kurang. Rumah yang besar dengan perabotan yang super mewah itu, terasa kering tanpa kehadiran suami, anak-anak, bahkan cucu. Tak ada tempat untuk berbagi.

Beliau pernah bilang, bahwa beliau wanita normal, dahulu juga pernah punya pacar seperti wanita-wanita pada umumnya. Bahkan pada masa-masa awal karirnya, beliau pernah dilamar seorang dokter. Tetapi beliau bilang nanti dulu. Merasa belum siap, dan masih memikirkan masa depan karirnya di militer. Tak sabar menunggu, sang dokter pun menikah dengan wanita lain, seorang sarjana ekonomi, karyawati sebuah bank swasta nasional. Dan pada kemudian hari diketahui, ia mengundurkan diri dari bank tersebut dan memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga.

Sekarang beliau menyesal, dan waktu sudah sangat terlambat. Beliau merasa keputusannya saat itu salah. Mestinya karir harus berjalan seiring dengan rumah tangga. Begitu banyak orang-orang besar yang kesuksesannya tidak lepas dari dukungan suami, istri dan keluarga mereka. Sebenarnya saya juga sedih dengan keadaan beliau, tetapi saya juga tidak bisa berbuat apa-apa, maklum to mas, saya kan cuma orang bodoh, hanya pembantu. Tetapi beliau sekarang sudah mupus, sudah pasrah sama yang maha kuasa.

Ketika menengok istri saya di rumah sakit, saat melahirkan anak kami dulu, beliau pernah berpesan, "Min....., berbahagialah kamu, sekalipun kamu tidak punya apa-apa, sekalipun kamu cuma pembantu, tetapi kamu punya anak dan istri. Kamu punya keluarga. Cintailah istrimu dan anak-anakmu setiap hari sepanjang hidupmu, karena mereka adalah harta yang tidak bisa di nilai dengan apapun. Tidak uang, pangkat, dan juga jabatan. Keluarga adalah segala-galanya...."

Ada pria dan wanita yang membuat dunia ini menjadi lebih baik hanya dengan menjadi orang-orang apa adanya. Kalau diantara mereka kemudian memutuskan untuk menikah, menyatu menjadi sebuah keluarga yang bahagia, tentu dunia ini akan menjadi jauh lebih baik lagi. Tetapi bila ada yang dengan sadar memutuskan untuk hidup sendiri, tentu tak perlu diperdebatkan. Hidup akan selalu menyuguhkan dua buah pilihan. Pilihan mana yang akan dijatuhkan tentu akan sangat tergantung kepada yang akan menjalaninya. Setiap orang berhak menentukan pilihan-pilihan terbaik hidupnya.

Penyesalan yang dialami majikannya Karjimin, mungkin juga dialami oleh banyak orang yang lain. Dan aku yakin sekali, ada sesuatu yang istimewa dalam sebuah keluarga. Seorang istri, anak-anak, dan sebuah milik sendiri. Perasaan yang tenang karena yakin telah memutuskan sesuatu yang benar. Memutuskan untuk menikah dan memiliki keluarga. Menirukan apa yang sering dilakukan Gede Prama, sang resi managemen dan penulis buku-buku inspiratif itu, di rumah saya yang mungil di kawasan Bogor, saya sering menyanyikan lagu Everiday I Love You pada anak dan istri. Bermain dan bercanda dengan mereka pada setiap kesempatan, di rumah kecil yang sudah kami nobatkan sebagai home sweet home itu, kami memenuhinya dengan environment of loving. Rumah mungil yang penuh dengan cinta.@@

Senin, 12 Juli 2010

ANGKRINGAN VS RESTORAN HOTEL BINTANG 5

Setelah lebih dari 15 tahun malang melintang menggeluti dunia kuliner modern di ibu kota, tak lantas selera makan saya berubah. Bagi sebagian orang, selera makan saya mungkin payah. Tetapi buat saya sendiri tidak ada masalah. Mendalami kuliner bergengsi, keluar masuk hotel bintang lima dengan frekwensi yang cukup sering, tak membuat saya melupakan makanan asli nenek moyang, baik dari penyajiannya yang sederhana, maupun jenis makanannya.

Setiap kali liburan dan berkesempatan pulang ke kota kelahiran saya di Jogja, saya selalu menyempatkan diri untuk makan dan nongkrong di warung angkringan, yang banyak bertebaran di jalan-jalan kota Jogja. Warung yang berupa gerobak dorong beratapkan terpal, dengan penerangan lampu minyak itu, memang sangat familiar di Jogja. Warung yang buka dari pagi hari hingga menjelang dini hari itu, memiliki customer yang cukup beragam. Mulai dari tukang becak, tukang ojeg, kuli panggul, sopir taksi, mahasiswa, hingga karyawan mall dan pegawai kantoran. Makanan yang disajikan pun cukup sederhana kalau tidak boleh di bilang ndeso. Dari aneka gorengan, aneka baceman, sego kucing, aneka sate, hingga aneka minuman yang dingin maupun yang panas.

Menikmati malam dengan nggayemi dan nongkrong di angkringan, buat saya memiliki kenikmatan tersendiri. Segelas teh jahe yang hangat, sebungkus nasi kucing dengan sambal terinya yang khas, serta aneka jajanan yang menggugah selera, wah.....pokoknya mat dan laras.
Setiap kali liburan dan berkesempatan pulang ke Jogja, makan dan nongkrong di angkringan sudah menjadi semacam ritual. Bahkan di tempat yang sederhana itulah saya banyak mendapatkan pengalaman-pengalaman berharga.

Mendengar keluhan-keluhan dan suara-suara sumbang rakyat kecil langsung dari sumbernya, bukan dari mereka yang selalu mengatasnamakan wong cilik. Tentang hidup yang makin sulit, tentang biaya sekolah yang makin mahal tak terjangkau, dan tentang hal-hal yang menyagkut kehidupan masyarakat kecil seperti mereka. Dan pengalaman yang tak kalah menarik adalah, ketika saya sedang asyik ngopi dan menghisap sebatang bintang buana filter, saya mendengar debat kusir antara tukang ojeg dan tukang parkir, tentang Gayus Tambunan yang kaya mendadak karena mengemplang pajak, yang notabene adalah uang rakyat seperti mereka.

Setelah 15 tahun menekuni dunia kuliner berkelas, terbiasa dengan makanan ala Oriental, Continental, bahkan Classic, tak membuat saya lupa diri kecanduan dengan deluxe food tersebut. Kadang-kadang saya heran dengan selera makan sebagian orang. Seorang teman bercerita dengan bangga setelah makan Pizza di Pasar Festival, teman yang yang lain menulis status di facebook setelah makan di Hoka-hoka Bento.

Diakui atau tidak, globalisasi berdampak kurang baik pada sendi-semdi kehidupan kalangan masyarakat tertentu. Manjamurnya restoran fast food, berdampak pada naiknya tingkat konsumtifisme golongan masyarakat tertentu. Kentucky Fried Chickhen, Mc Donald's. Hoka-hoka Bento, Spaghetti House adalah meja makan kedua mereka setelah yang di rumah. Belum lagi kalau harus ngomongin Fine Dinning, Executive Club, Coctail Party, Corporate Gathering, wah ini semua sudah gaya makan negeri antah berantah.

Seorang tamu saya pernah menghabiskan duit hingga 1,3 juta rupiah hanya untuk makan seorang diri. Tamu yang lain rela merogoh kocek hingga 7 juta rupiah untuk makan malam bersama keempat orang temannya. Dan seorang pengusaha tak segan-segan menggelontorkan uang 50 juta rupiah untuk sebuah ulang tahun yang dihadiri kurang dari 30 orang. Seolah tak mau kalah dengan sang pengusaha, seorang pejabat bank sentral negeri ini rela menguras sakunya hingga 150 juta rupiah untuk menggelar ulang tahunnya di sebuah grand ball room di sebuah hotel bintang lima. Bahkan dalam rangka resepsi pernikahan kerabatnya yang digelar disebuah hotel bintang lima yang lain, seorang pengusaha yang lain mengundang 1000 orang tamu undangan dengan harga menu makanan yang disuguhkan mencapai 550 ribu rupiah per orang. Edaaannn....!Dahsyaaattt...!

Menurut saya yang memang tidak empunya alias mlarat ini, semua itu adalah pemborosan dan ketidakefisienan belaka. Tetapi bagi mereka yang memang tajir mungkin tidak, bahkan biasa-biasa saja. Maklum saja wong buat mereka itu sekali kentut bisa 1 M. Coba kalau kentutnya sehari 3 kali, 10 hari jadi 30 kali kentut, sebulan jadi 90 kali kentut, setahun jadi 1080 kali kentut, bisa pusing ngitungnya. Apalagi kalau topik ini didiskusikan di angkringan dengan tukang ojeg, tukang becak, tukang parkir, pasti akan seru. Dengan dibumbui debat setengah kusir ala mereka, bisa jadi akan lebih seru dari perhelatan akbar piala dunia...@@.

TENTANG PERNIKAHAN AGUNG

Bertempat di sebuah Grand ball room hotel bintang lima di kawasan Senayan Jakarta, perhelatan akbar pernikahan antara seorang artis ibu kota dan anak seorang pengusaha sukses nan kaya raya itu akan di gelar. Konon menurut pemberitaan media masa pernikahan ini dinobatkan sebagai pernikahan terakbar tahun ini. Pernikahan agung yang kabarnya menelan biaya mendekati angka 200 milyar rupiah, dan akan dihadiri tak kurang dari 7000 undangan. Fantastis, bak cerita pesta pernikahan di negeri dongeng, pesta itu dipastikan akan menjadi pesta pernikahan yang paling wah dan paling spektakuler pada tahun ini.

Keagungan sebuah pernikahan menurut pemikiran banyak orang, mungkin akan selalu dikaitkan dengan pesta dan tempatnya yang mewah, jumlah biayanya yang besar, dan banyaknya tamu undangan yang akan hadir. Seperti kebanyakan pesta pernikahan yang di langsungkan kaum berada, pejabat, pengusaha dan tentu artis-artis papan atas negeri ini. Sedikit sekali atau bahkan mungkin tidak ada orang yang memandang keagungan sebuah pernikahan itu dilihat dari out putnya. Jadi apakah dari pesta pernikahan yang disebut agung itu, pada kemudian hari mampu melahirkan sebuah keluarga yang bahagia atau tidak. Apakah dari pernikahan yang disebut spektakuler itu pada kemudian hari mampu mewujudkan sebuah keluarga yang harmonis dan agamis atau tidak.

Ironisnya pesta pernikahan nan agung dengan beribu-ribu undangan yang hadir dan bermilyar-milyar biaya yang harus di keluarkan itu, tidak pernah menjamin bahwa pada kemudian hari akan menjadi keluarga yang bahagia. Berapa banyak artis-artis ibu kota kita, yang pernikahannya diadakan di grand ball room sebuah hotel bintang lima ternama, dan dengan biaya yang mencapai milayran rupiah, tetapi dikemudian hari rumah tangganya harus kandas di tengah jalan dan diakhiri dengan perceraian. Tidak cukup sampai disitu, mereka kemudian malah berseteru dihadapan pengadilan untuk memperebutkan hak asuh anak dan juga harta gono-gini. Dengan menyewa pengacara tersohor, mereka mereka berdebat mempertahankan argumennya masing-masing. Mengklaim kebenaran versi mereka. Di depan media mereka saling serang, perang kata-kata, membuka aib satu sama lain. Menghabiskan banyak uang dan juga energi untuk memerangi orang yang pernah mereka cintai. Pendeknya mereka semua gagal total mewujudkan sebuah keluarga yang bahagia, sebagai tujuan utama dari suatu pernikahan. Pernikahannya yang agung dan mewah itu seolah tak berarti, karena harus diakhiri dengan perceraian yang menyakitkan di tambah bonus perselisihan yang berkepanjangan.

Saya jadi ingat pernikahan Agung Budianto, kawan sekolah saya di SMA dulu. Pernikahan yang sangat sederhana di sebuah desa kecil, di lereng selatan gunung Merapi kala itu. Tidak seperti upacara pernikahan pada umumnya, pernikahan itu hanya berlangsung sangat singkat, dan hanya dihadiri oleh beberapa kawan dekat, keluarga dan tetangga sekitar. Tidak ada janur kuning sebagai penghias, tidak ada pelaminan untuk duduk sang pengantin, tidak ada pengeras suara, tidak ada kursi-kursi untuk tamu undangan yang hadir, sebab semua dilakukan dengan cara lesehan menggelar tikar. Dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan cincin emas seberat lima gram, ijab qobul pun berlangsung dengan lancar tanpa hambatan satu apapun.

Menyederhanakan pernikahan dengan alasan masih kuliah dan minimnya biaya yang dimiliki, tak membuat nilai keabsahan dan kesakralan sebuah pernikahan berkurang, yang penting syarat dan rukunnya terpenuhi, katanya saat itu.

Lima belas tahun kemudian, ketika tanpa sengaja saya ketemu mas Agung pada sebuah perjamuan di Jogja, kemudian saya diajak mampir kerumahnya yang mungil dan asri di kawasan Jogja utara. Memiliki dua anak perempuan yang cantik-cantik dan pintar-pintar, membuatnya ia berbangga. Ia sendiri menjadi guru agama pada SD negeri tak jauh dari rumahnya. Istrinya yang juga tercatat sebagai aktivis disebuah organisasi keagamaan itu juga masih sempat membuka boutiqe baju muslim kecil-kecilan di rumahnya, serta menerima jahitan baju-baju muslim khususnya buat anak-anak.

Dalam kesederhanaan hidupnya ia terlihat sangat bahagia. Dalam benak saya kemudian muncul pertanyaan, sebenarnya yang disebut pernikahan agung itu, pernikahan yang glamour dan menghabiskan uang milyaran rupiah tetapi gagal melahirkan sebuah keluarga yang bahagia, atau pernikahan sederhana seperti kawan saya mas Agung itu, tetapi sukses besar mewujudkan keluarga yang bahagia, harmonis, sakinah, mawadah dan warohmah....,sih? Jadi yang penting itu pestanya atau pernikahannya...? Entahlah...., anda sendiri yang bisa menilainya.@@