Setelah lebih dari 15 tahun malang melintang menggeluti dunia kuliner modern di ibu kota, tak lantas selera makan saya berubah. Bagi sebagian orang, selera makan saya mungkin payah. Tetapi buat saya sendiri tidak ada masalah. Mendalami kuliner bergengsi, keluar masuk hotel bintang lima dengan frekwensi yang cukup sering, tak membuat saya melupakan makanan asli nenek moyang, baik dari penyajiannya yang sederhana, maupun jenis makanannya.
Setiap kali liburan dan berkesempatan pulang ke kota kelahiran saya di Jogja, saya selalu menyempatkan diri untuk makan dan nongkrong di warung angkringan, yang banyak bertebaran di jalan-jalan kota Jogja. Warung yang berupa gerobak dorong beratapkan terpal, dengan penerangan lampu minyak itu, memang sangat familiar di Jogja. Warung yang buka dari pagi hari hingga menjelang dini hari itu, memiliki customer yang cukup beragam. Mulai dari tukang becak, tukang ojeg, kuli panggul, sopir taksi, mahasiswa, hingga karyawan mall dan pegawai kantoran. Makanan yang disajikan pun cukup sederhana kalau tidak boleh di bilang ndeso. Dari aneka gorengan, aneka baceman, sego kucing, aneka sate, hingga aneka minuman yang dingin maupun yang panas.
Menikmati malam dengan nggayemi dan nongkrong di angkringan, buat saya memiliki kenikmatan tersendiri. Segelas teh jahe yang hangat, sebungkus nasi kucing dengan sambal terinya yang khas, serta aneka jajanan yang menggugah selera, wah.....pokoknya mat dan laras.
Setiap kali liburan dan berkesempatan pulang ke Jogja, makan dan nongkrong di angkringan sudah menjadi semacam ritual. Bahkan di tempat yang sederhana itulah saya banyak mendapatkan pengalaman-pengalaman berharga.
Mendengar keluhan-keluhan dan suara-suara sumbang rakyat kecil langsung dari sumbernya, bukan dari mereka yang selalu mengatasnamakan wong cilik. Tentang hidup yang makin sulit, tentang biaya sekolah yang makin mahal tak terjangkau, dan tentang hal-hal yang menyagkut kehidupan masyarakat kecil seperti mereka. Dan pengalaman yang tak kalah menarik adalah, ketika saya sedang asyik ngopi dan menghisap sebatang bintang buana filter, saya mendengar debat kusir antara tukang ojeg dan tukang parkir, tentang Gayus Tambunan yang kaya mendadak karena mengemplang pajak, yang notabene adalah uang rakyat seperti mereka.
Setelah 15 tahun menekuni dunia kuliner berkelas, terbiasa dengan makanan ala Oriental, Continental, bahkan Classic, tak membuat saya lupa diri kecanduan dengan deluxe food tersebut. Kadang-kadang saya heran dengan selera makan sebagian orang. Seorang teman bercerita dengan bangga setelah makan Pizza di Pasar Festival, teman yang yang lain menulis status di facebook setelah makan di Hoka-hoka Bento.
Diakui atau tidak, globalisasi berdampak kurang baik pada sendi-semdi kehidupan kalangan masyarakat tertentu. Manjamurnya restoran fast food, berdampak pada naiknya tingkat konsumtifisme golongan masyarakat tertentu. Kentucky Fried Chickhen, Mc Donald's. Hoka-hoka Bento, Spaghetti House adalah meja makan kedua mereka setelah yang di rumah. Belum lagi kalau harus ngomongin Fine Dinning, Executive Club, Coctail Party, Corporate Gathering, wah ini semua sudah gaya makan negeri antah berantah.
Seorang tamu saya pernah menghabiskan duit hingga 1,3 juta rupiah hanya untuk makan seorang diri. Tamu yang lain rela merogoh kocek hingga 7 juta rupiah untuk makan malam bersama keempat orang temannya. Dan seorang pengusaha tak segan-segan menggelontorkan uang 50 juta rupiah untuk sebuah ulang tahun yang dihadiri kurang dari 30 orang. Seolah tak mau kalah dengan sang pengusaha, seorang pejabat bank sentral negeri ini rela menguras sakunya hingga 150 juta rupiah untuk menggelar ulang tahunnya di sebuah grand ball room di sebuah hotel bintang lima. Bahkan dalam rangka resepsi pernikahan kerabatnya yang digelar disebuah hotel bintang lima yang lain, seorang pengusaha yang lain mengundang 1000 orang tamu undangan dengan harga menu makanan yang disuguhkan mencapai 550 ribu rupiah per orang. Edaaannn....!Dahsyaaattt...!
Menurut saya yang memang tidak empunya alias mlarat ini, semua itu adalah pemborosan dan ketidakefisienan belaka. Tetapi bagi mereka yang memang tajir mungkin tidak, bahkan biasa-biasa saja. Maklum saja wong buat mereka itu sekali kentut bisa 1 M. Coba kalau kentutnya sehari 3 kali, 10 hari jadi 30 kali kentut, sebulan jadi 90 kali kentut, setahun jadi 1080 kali kentut, bisa pusing ngitungnya. Apalagi kalau topik ini didiskusikan di angkringan dengan tukang ojeg, tukang becak, tukang parkir, pasti akan seru. Dengan dibumbui debat setengah kusir ala mereka, bisa jadi akan lebih seru dari perhelatan akbar piala dunia...@@.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar