Selasa, 21 Desember 2010

KISAH SINGKONG REBUS YANG NAIK KELAS

Sebuah forum diskusi tentang kemiskinan yang digagas oleh sebuah departemen, digelar disebuah meeting room hotel bintang lima ternama di Jakarta. Diikuti oleh para cerdik pandai, para elite pengambil keputusan, dan para elite kekuasaan, diskusi ini diharapkan dapat memunculkan ide-ide baru tentang penanggulangan kemiskinan. Tentu menjadi angin segar sebab diakui atau tidak kemiskinan masih mendera ratusan ribu atau bahkan jutaan penduduk negeri yang konon katanya sudah makmur ini.

Sebagai salah satu chef yang ikut menyiapkan hidangan untuk para peserta diskusi itu, saya agak terkejut ketika melihat menu makanan yang dipesan. Untuk main course nya sih biasa saja, sajian international buffet yang sudah lazim di hotel bintang lima manapun. Tetapi ketika melihat menu coffe break, saya agak terkejut dan dibuat merenung meski hanya beberapa saat. Biasanya untuk coffe break acara-acara sejenis tak jauh dari menu-menu internasional seperti brownies, chocolate cake, banana cake, assorted pastries, chicken curry puff atau setidak-tidaknya ya lapis legit, bika ambon dan lapis Surabaya. Tetapi kali ini panitya penyelenggara forum diskusi yang diikuti oleh kaum intelektual, para elit pengambil keputusan dan elite kekuasaan itu meminta singkong rebus, kedelai rebus, kacang rebus, gatot dan bajigur. Edan. Bukan saja tidak lazim, bahkan juga mencurigakan.

Dalam sekejap muncul 1001 pertanyaan dalam benak saya. Apa karena diskusi ini membicarakan masalah kemiskinan, sehinga mereka para elite itu memandang perlu mencicipi makanan ndeso yang biasa disantap oleh kaum miskin, sehingga tumbuh empati untuk mereka. Atau jangan-jangan panitya sengaja memesan jajanan murahan itu supaya para peserta diskusi bisa menghayati dan merasakan penderitaan kaum miskin, meskipun selama ini mereka hidup berkecukupan bahkan bermewah-mewah.
Atau diskusi ilmiah itu mungkin akan dijadikan titik tolak dimulainya pola hidup sederhana bagi para elite kekuasaan dan para elite pengambil keputusan, yang selama ini, kesederhanaan bagi mereka hanya berhenti pada mulut saja, terbatas pada retorika saja. Sederhana? Tentu tidak. Sebab hidangan ndeso seperti singkong rebus, kedelai rebus, kacang rebus dan gatot itu mereka beli dengan harga yang sudah 12 kali lipat lebih mahal, plus tax and service charge yang besarnya 21 % pula. Apalagi untuk merasakan penderitaan kaum miskin, ah rasanya kok sangat jauh sekali.

Tanpa bermaksud berprasangka buruk saya malah timbul rasa curiga, jangan-jangan mereka memesan menu sederhana itu karena sebagai kaum elite, sebagai priyagung, mereka telah bosan dengan kemewahan yang selama ini mereka nikmati. Setelah saban hari menyantap steak, roast beef, spaghetti, pizza, mashed potato, salad, champagne, wine, ice cream maka mereka ingin kembali merasakan hidangan ndeso itu untuk sekedar menghindar dari kebosanan, atau bernostalgia, mengingat jaman susah dahulu. Membangkitkan kembali kenangan masa lalu yang sangat sentimental itu.

Berusaha dengan sungguh-sungguh memberantas kemiskinan tentu berbeda dengan memberantas orang miskin seperti yang selama ini mereka pertontonkan. Menggasak dan menggusur mereka atas nama pembangunan , atas nama ketertiban, atas nama kebersihan dan keindahan kota. Membuat aturan, undang-undang, perda atau apalah namanya yang sama sekali tidak pro dan membela kepentingan rakyat miskin, tetapi justru menyusahkan mereka. Mencabut berbagai macam subsidi saat mereka belum siap menerimanya. Dan pada kemudian hari harga-harga kebutuhan melambung tinggi, memotong setengah daya beli mereka, membuat mereka tetap miskin dan makin miskin.

Saya dan banyak orang miskin diluaran sana berharap bila diskusi tentang kemiskinan dengan suguhan aneka santapan orang miskin seperti singkong rebus, kedelai rebus, kacang rebus dan gatot serta bajigur itu benar-benar mampu melahirkan ide-ide brilliant yang bermanfaat untuk kepentingan kaum miskin. Tetapi tentu masih harus menunggu, semuanya belum pasti, dan kaum miskin belum bisa nyicil ayem sampai hasil pemikiran para cerdik pandai dan para elite itu di implementasikan di lapangan.

Yang jelas sudah pasti adalah naik kelasnya makanan ndeso itu, bila sehari-hari hanya menjadi santapan kaum miskin, tetapi kali ini menjadi hidangan agung para elite kekuasaan dan pengambil keputusan. Dan lagi, biasa hanya terdapat di desa-desa minus yang masyarakatnya tak punya pilihan lain karena tak mampu beli beras, tetapi kali ini santapan kaum miskin itu digelar di hotel bintang lima dengan penerangan lampu-lampu kristal yang mewah dan megah. Dan satu lagi, pada daftar menu, makanan kaum mlarat itu ditulis dengan ejaan bahasa inggris, seperti singkong rebus menjadi boiled cassava, kedelai rebus jadi boiled jacketed soybean, dan yang tidak kalah seremnya adalah gatot asal Gunung Kidul itu berganti nama menjadi dried cassava cake. Mantap!.@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar