Siapa yang tidak tahu Gunung Merapi yang ada di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah, dan siapa yang tak mengenal almarhum Mbah Maridjan sebagai juru kunci Gunung Merapi. Gunung yang sangat aktif dan selalu mangalami erupsi secara periodik ini memang tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan kraton Yogyakarta. Hubungan kraton dan gunung Merapi sudah bukan rahasia lagi, sebab secara filosofi Gunung Merapi menjadi bagian dari konsepsi pembangunan kraton Yogyakarta.
Dan untuk kepentingan menjaga dan memelihara hubungan itu, pihak kraton Yogyakarta menunjuk seorang abdi dalem yang diberi tanggungjawab untuk itu, yang selama ini kita kenal sebagai Juru kunci. Juru kunci sendiri merupakan abdi dalem kraton yang ditunjuk langsung oleh raja Yogyakarta untuk mengemban tugas menjaga Gunung Merapi dalam arti memelihara tradisi dalam kaitan hubungannya dengan kraton dengan Gunung Merapi. Tidak bisa begitu saja menunjuk seseorang untuk bisa menjadi juru kunci. Penunjukannnya pun harus didasarkan pada beberapa aspek yang menjadi persyaratan seorang juru kunci, seperti aspek keagamaan ,aspek kebudayaan, aspek kekratonan, serta aspek kemasyarakatan. Adalah Mas Penewu Suraksohargo atau yang lebih di kenal sebagai Mbah Maridjan, juru kunci terakhir yang sempat menjadi kontroversi karena juga ikut menjadi korban tewas dalam letusan dahsyat tahun 2010 lalu.
Seperti pernah dimuat di Warta Kota, hubungan antara kraton Yogyakarta dengan Gunung Merapi merupakan simbol hubungan dengan Tuhan. Sri Sultan Hamengkubuwono X pernah menjelaskan bahwa istilah Juru Kunci Merapi itu sebenarnya merupakan simbol, bukan makna yang sebenarnya. Mbah Maridjan menjadi juru kunci Gunung Merapi menggantikan ayahnya yang meninggal pada tahun 1982, dan ditunjuk langsung oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Tetapi konon sejak tahun 1970 Mbah Maridjan muda sudah diangkat menjadi abdi dalem dan sering membantu bahkan mewakili ayahnya yang saat itu menjabat sebagai juru kunci.
Sebagai abdi dalem kraton dengan jabatan juru kunci Mbah Maridjan menunjukkan nilai-nilai kesetiaan yang tinggi, setia menjaga amanah meski harus menanggung resiko yang tidak kecil. Sikap Mbah Maridjan yang terkadang terkesan
mbalelo itu semata-mata sebagai wujud akan kesetiaan untuk menjalankan tugas serta tanggung jawab yang di embannya dari
Ngarsodalem. Dan ketika ditanya oleh wartawan kapan Gunung Merapi akan meletus, lelaki sederhana yang lahir pada tahun 1927 ini menjawab dengan enteng dalam bahasa Jawa :
”Kulo niki tiyang bodho, dados kulo mboten ngertos Gunung Merapi bade mbledos nopo mboten. Awit Merapi meniko wewados. Namung Ingkang Moho Kuwaos ingkang pirso. Menawi kulo mbukak wewados ibaratipun kulo mbukak lawangipun Ingkang Moho Kuwaos ( Saya ini orang bodoh, jadi saya tidak tahu kapan gunung Merapi itu akan meletus atau tidak. Sebab Merapi itu menyimpan rahasia. Hanya Tuhan yang Maha Kuasa yang tahu. Kalau saya buka rahasia, ibaratnya saya mebuka pintu rahasianya Tuhan Yang Maha Kuasa )
Menurut pemahaman Mbah Maridjan Gunung Merapi adalah pusatnya jagad di Tanah Jawa. Ia juga percaya kalau Gunung Merapi itu hidup, yang senantiasa bertambah dan berubah. Jika Gunung Merapi meletus berarti sedang berubah atau bertambah. Dalam pemahaman beliau isyarat alam yang berupa gejolak Gunung Merapi karena
eyang yang
lenggah di Gunung Merapi sedang hajat membangun “kraton”. Sebagai orang yang "mengerti", Mbah Maridjan pantang menggunakan istilah gunung Merapi meletus,
wedhus gembel atau istilah-istilah lain yang terkesan kurang pantas, vulgar, kasar dan negatif. Mbah Maridjan menyarankan semua orang di kawasan Merapi agar membersihkan diri, membersihkan hati, tidak berbuat yang aneh-aneh, apalagi merusak alam sekitar Merapi. Kalau ingin terhindar dari bahaya maka bersahabtlah dengan alam dan jangan merusaknya.
Mbah Maridjan tidak hanya menjadi abdi dalem mewarisi tugas dari ayahnya Mas Penewu Surakso Hargo, Dia juga memakai nama Surakso Hargo yang konon memiliki arti Penjaga Gunung. Tugasnya utamanya sebagai juru kunci adalah melaksanakan upacara ritual di puncak Merapi pada saat peringatan jumenengan ( naik tahta) Sultan Hamengkubuwono setiap tanggal 30 Rejeb Tahun Saka penanggalan Jawa. Tugas lain adalah memelihara dan membersihkan dan melaksakan ritus labuhan di Paseban Labuhan Dalem dan Paseban Sri Manganti yang bewrjarak 1 kilometer dari puncak Merapi. Mengenal sang juru kunci dengan segenap pandangan cultural dan tradisional yang melekat padanya, jelas akan terlihat potret sosok orang Jawa dengan kearifannya yang khas. Sebagai abdi dalem dengan jabatan juru kunci Gunung Merapi, mbah Maridjan lebih banyak melihat fenomena alam menggunakan ketajaman naluri atau instingnya. Setelah ia wafat akhir tahun lalu, kini posisinya digantikan sang anak, Mas Asih atau Mas Lurah Suraksosihono.@@ ( Sumber Warta Kota, Kompas, UII News)