Selasa, 13 Desember 2011

PERJANJIAN GIYANTI DAN LAHIRNYA JOGJAKARTA


Perjanjian Giyanti adalah sebuah perjanjian yang melatarbelakangi pecahnya dynasti Mataram dan lahirnya Kasultanan Ngayogyakarta. Hal itu berawal dari  Pangeran Mangkubumi yang menagih janji dari Sunan Pakubuwono III yang akan memberikan 3000 cacah tanah di wilayah Sukowati bila berhasil menumpas pembrontakan yang dipimpin oleh Pangeran Sambernyowo.
Perjanjian Giyanti sebenarnya merupakan kesepakan antara pihak Belanda, dalam hal ini VOC dengan pihak kerajaan Mataram yang di wakili oleh Sunan Pakubuwono III, dan kelompok Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi akhirnya memutar haluan menyeberang dari kelompok pemberontak dan bergabung dengan kelompok pemegang legitimasi kekuasaan Mataram, dan ikut memerangi pemberontak yaitu Pangeran Sambernyowo. Perjanjian Giyanti yang akhirnya di tandatangani pada tanggal 13 Februari 1775 di desa Giyanti yang saat ini menjadi wilayah dukuh Kerten Desa Jantiharjo kabupaten Karang Anyar, Jawa Tengah ini secara de facto dan de jure menandai berakhirnya kerajaan Mataram.
Berdasarkan perjanjian ini wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi 2 bagian, yaitu wilayah disebelah timur dikuasai oleh pewaris tahta Mataram ( Sunan Pakubuwono III ) dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara disebelah barat yang merupakan wilayah Mataram yang asli diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi, sekaligus diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwono I dan berkedudukan di Ngayogyakarta. Dalam perjajian itu juga terdapat klausul, VOC bisa menentukan siapa yang menjadi penguasa wilayah itu jika diperlukan.
Perjanjian Giyanti sebenarnya belum mengakhiri gonjang-ganjing di kerajaan Mataram, karena kepentingan kelompok Pangeran Sambernyowo ( Raden Mas Said ) tidak terakomodasi dalam perjanjian ini. Pangeran Sambernyowo adalah rivalitas Pangeran Mangkubuni untuk menjadi orang nomor satu di kerajaan Mataram. Perjanjian Giyanti bisa jadi merupakan persekongkolan untuk menyingkirkan Pangeran Sambernyowo. Ada juga yang beranggapan bahwa Perjanjian Giyanti merupakan bagian dari politik pecah belah Belanda. Terlepas dari kontroversi yang terjadi, Perjanjian Giyanti merupakan “ibu kandung” Kasultanan Ngayogyakarta yang kemudian menjadi Yogyakarta. yang telah banyak memberikan sumbangsihnya pada awal terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di awal kemerdekaan RI  kasultanan Yogyakarta banyak memberikan bantuan baik moril maupun matriil. Dan puncaknya adalah ketika Sultan Hamengkubuwono IX yang bertahta pada saat itu, menyatakan wilayah kasultanan Ngayogyakarta sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia begitu Kemerdekaan di proklamirkan oleh Sukarno-Hatta. Pemindahan ibukota dari Jakarta ke Jogjakarta juga atas inisiatif dan difasilitasi oleh Sultan Hamengkubuwono IX.@@ ( Sumber : Wikipedia, beberapa sumber lain )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar