Kamis, 05 Agustus 2010

KISAH TRAGIS SANG DERMAWAN

Bekerja pada hospitality industry membuat sebagian besar waktu saya banyak tersita untuk pekerjaan. Sebagai seorang hotelier saya kadang-kadang harus bekerja lebih dibanding para tetangga yang bekerja pada bidang lain. Seringkali pulang ke rumah sudah larut malam, bahkan harus menginap di kantor , bila di perlukan. Tanggal merah belum tentu libur, hari minggu apalagi, malah bisa lebih sibuk dari hari-hari biasa. Waktu saya untuk bersosialisasi dengan para tetangga dan masyarakat di komplek tempat saya tinggal jadi sangat terbatas. Pertemuan RT, kerja bakti, ronda malam memang masih bisa saya ikuti, tetapi dengan absensi yang bolong-bolong tentunya. Karena jarangnya pertemuan, saya kadang-kadang lupa dengan nama-nama tetangga sendiri, seringkali memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk mengingat nama, blok serta nomer rumahnya, bila suatu saat bertemu di jalan.

Begitu juga dengan informasi tentang berbagai kegiatan RT, berita kelahiran, kabar kematian, seringkali saya terima sudah sangat terlambat. Begitulah kehidupan di kota besar macam Jakarta, karir dan pekerjaan seringkali kejam sekali, mereka seperti tak pernah mengizinkan saya untuk bisa menikmati kebersamman dalam hidup bermasyarakat.

Begitu juga dengan kabar kematian beliau, seorang pengurus RW tetangga yang di komplek kami terkenal sangat kaya dan dermawan itu. Terlihat hidupnya sangat mapan. Di komplek kami beliau memiliki lima rumah, tiga rumah type 45 berderet di jadikan satu, kemudian di rehab menjadi rumah mewah berlantai tiga. Dua rumah yang lain agak berjauhan, dan di kontrakkan pada orang lain. Memiliki tiga mobil buat beliau memang tidak aneh. Di samping memiliki jabatan mentereng di kantornya, istrinya juga wanita karir yang posisinya juga tidak kalah bergengsi. Sebagai pengurus RT beliau juga menjadi panutan, sifat dermawannya tidak pernah kami ragukan. Untuk urusan sumbang-menyumbang di RT kami mungkin beliau menduduki rangking pertama. Terakhir yang masih saya ingat, beliau menyumbangkan sepuluh sak semen untuk pembangunan lapangan olah raga di lingkungan RT kami, di mata kami kehidupannya sangat mapan dan bahagia. Jabatan yang tinggi di kantor, rumah megah, harta berlimpah dan dihormati banyak orang.

Tetapi menjadi sangat aneh, ketika sore itu beliau ditemukan tewas gantung diri di halaman belakang rumahnya yang megah itu. Kabar ini sempat menggemparkan hampir seleuruh warga komplek kami. Kami semua jadi bertanya-tanya, ada apa gerangan. Orang yang sudah hidup mapan, dan dihormati banyak orang kok bisa melakukan hal sekeji itu. Bunuh diri.

Beberapa hari setelah peristiwa itu muncul rumor, dan warga terutama ibu-ibu mulai kasak-kusuk membicarakan penyebab beliau bunuh diri. Menurut kabar yang masih harus dikonfirmasi kebenarannya, beliau itu terlibat penggunaan uang perusahaan atau korupsi yang totalnya hampir mencapai satu M. Sebenarnya kabar tak sedap ini pernah muncul beberapa pekan yang lalu, tetapi kabar itu hilang begitu saja bak tertiup angin.

Tidak terlalu penting kabar itu benar atau tidak, yang lebih penting bahwa kita harus bisa mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Benar kata kakek saya dulu, jangan pernah silau dengan harta orang lain. Hidup ini cuma sawang-sinawang, hidup ini cuma saling melihat. Kalau kita melihat orang lain kayaknya mereka itu hidupnya enak, tenteram, sukses. Giliran orang lain yang melihat kita, mereka bilang kita yang hidupnya enak, tenang, tenteram. Hidup seyogyanya harus bijaksana. Hidup yang hanya sekali ini kalau bisa harus kita nikmati, jangan sampai menyia-nyiakannya.

Dalam hidup yang hanya sekali ini, kita harus pandai-pandai mengendalikan diri, mengatur kehendak, menyaring keinginan, menertibkan mimpi-mimpi dan harapan. Meper hawa nafsu. Keinginan untuk dipuji, kehendak untuk dihormati, dan nafsu untuk menonjol dalam bermasyarakat kadang-kadang menggiring kita untuk berbuat yang tidak proporsional dan di luar batas kemampuan. Keinginan itu seringkali membutakan. Melik nggendong lali. Mendamba itu membawa serta lupa, demikian kata almarhum profesor Umar Kayam, mantan guru besar UGM itu dalam satu tulisan kolomnya.@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar