Jalan
Trikora sangat mungkin menjadi jalan protokol terpendek di kota Jogja, lebih
pendek dari jalan Malioboro yang panjangnya kurang lebih hanya satu kilometer. Panjang
jalan ini mungkin kurang dari 200 meter, tetapi mengingat tempatnya sangat strategis,
jalan ini memiliki nilai historis dan filosofis yang sangat tinggi. Berada persis
di depan alun-alun utara Kraton Jogja, jalan
ini menjadi sangat penting karena menjadi jalan masuk ke kraton dari arah depan
dan merupakan bagian dari bagan garis imajiner
dari Kraton ke tugu di utara yang tersambung dengan jalan Ahmad Yani, jalan
Malioboro dan jalan Pangeran Mangkubumi. Seperti pernah saya tulis dalam blog
ini, dari Kraton ke tugu di utara merupakan bagan yang memiliki makna filosofi Sangkan
paraning dumadi yang kira-kira berarti asal-usul kehidupan manusia dan
tujuan asasi hidupnya
Bernilai historis
karena di seputaran tempat ini masih banyak bangunan-bangunan bersejarah yang
masih sangat terawat. Seperti Gedung Agung, Benteng Vrederburg, Kantor Pos
Besar, dan Bank Indonesia. Lebih dari itu dahulu disini juga merupakan medan
pertempuran saat Belanda mencoba menduduki kembali kota Yogyakarta. Pertempuran
Serangan Umum 1 Maret 1949 atau yang dikenal dengan pertempuran 6 jam di Jogja
itu kini ditandai dengan Monumen So 1 Maret di seberang kantor pos besar.
Tempat ini semakin memiliki nila historis saat ibukota Negara pindah ke Jogja
tempat ini juga menjadi
Bernilai filosofis
sebab jalan Trikora dahulu bernama jalan Pangurakan.
Dari kata urak atau nggusah yang berarti mengusir. Apa yang
diusir? Di sini awalnya terdapat Gapura
Gladag sebagai pintu Gerbang Utama menuju komplek kraton. Beberapa meter
sebelah selatannya terdapat Gapura
Pangurakan. Pada zamannya dulu Pangurakan merupakan tempat peyerahan suatu
daftar jaga (gerbang pos penjagaan). Atau tempat pengusiran dari kota bagi
mereka yang mendapat hukuman/pengasingan, atau mengusir orang-orang yang tidak
dikehendaki masuk ke komplek kraton. Tetapi kalau dihubungkan dengan konsepsi filosofi pembangunan
kraton, yang diusir bisa juga nafsu yang tidak baik dalam diri manusia. Ini
berkaitan dengan garis lurus antara kraton hingga ke tugu yang memiliki makna
filosofi Sangkan paraning dumadi, di mana
setiap manusia pasti akan menghadap Sang Khalik, sehingga harus mensucikan
diri, membersihkan hati dengan mengusir nafsu yang tidak baik yang ada di dalam
dirinya. Di sepanjang jalan ini dulu juga ditanami pohon gayam dan pohon asem.
Gayam melambangkan ayom (teduh), ayem (tenteram) dan asem melambangkan sengsem
(tertarik). Dengan harapan kraton (Jogja) itu menjadi daerah yang ayom, ayem, tentrem, dan sengsem, teduh,
tenteram dan juga menarik. @@