Rabu, 18 Mei 2011
JURU KUNCI MERAPI DAN KEARIFAN KHAS JAWA
Siapa yang tidak tahu Gunung Merapi yang ada di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah, dan siapa yang tak mengenal almarhum Mbah Maridjan sebagai juru kunci Gunung Merapi. Gunung yang sangat aktif dan selalu mangalami erupsi secara periodik ini memang tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan kraton Yogyakarta. Hubungan kraton dan gunung Merapi sudah bukan rahasia lagi, sebab secara filosofi Gunung Merapi menjadi bagian dari konsepsi pembangunan kraton Yogyakarta.
Dan untuk kepentingan menjaga dan memelihara hubungan itu, pihak kraton Yogyakarta menunjuk seorang abdi dalem yang diberi tanggungjawab untuk itu, yang selama ini kita kenal sebagai Juru kunci. Juru kunci sendiri merupakan abdi dalem kraton yang ditunjuk langsung oleh raja Yogyakarta untuk mengemban tugas menjaga Gunung Merapi dalam arti memelihara tradisi dalam kaitan hubungannya dengan kraton dengan Gunung Merapi. Tidak bisa begitu saja menunjuk seseorang untuk bisa menjadi juru kunci. Penunjukannnya pun harus didasarkan pada beberapa aspek yang menjadi persyaratan seorang juru kunci, seperti aspek keagamaan ,aspek kebudayaan, aspek kekratonan, serta aspek kemasyarakatan. Adalah Mas Penewu Suraksohargo atau yang lebih di kenal sebagai Mbah Maridjan, juru kunci terakhir yang sempat menjadi kontroversi karena juga ikut menjadi korban tewas dalam letusan dahsyat tahun 2010 lalu.
Seperti pernah dimuat di Warta Kota, hubungan antara kraton Yogyakarta dengan Gunung Merapi merupakan simbol hubungan dengan Tuhan. Sri Sultan Hamengkubuwono X pernah menjelaskan bahwa istilah Juru Kunci Merapi itu sebenarnya merupakan simbol, bukan makna yang sebenarnya. Mbah Maridjan menjadi juru kunci Gunung Merapi menggantikan ayahnya yang meninggal pada tahun 1982, dan ditunjuk langsung oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Tetapi konon sejak tahun 1970 Mbah Maridjan muda sudah diangkat menjadi abdi dalem dan sering membantu bahkan mewakili ayahnya yang saat itu menjabat sebagai juru kunci.
Sebagai abdi dalem kraton dengan jabatan juru kunci Mbah Maridjan menunjukkan nilai-nilai kesetiaan yang tinggi, setia menjaga amanah meski harus menanggung resiko yang tidak kecil. Sikap Mbah Maridjan yang terkadang terkesan mbalelo itu semata-mata sebagai wujud akan kesetiaan untuk menjalankan tugas serta tanggung jawab yang di embannya dari Ngarsodalem. Dan ketika ditanya oleh wartawan kapan Gunung Merapi akan meletus, lelaki sederhana yang lahir pada tahun 1927 ini menjawab dengan enteng dalam bahasa Jawa :”Kulo niki tiyang bodho, dados kulo mboten ngertos Gunung Merapi bade mbledos nopo mboten. Awit Merapi meniko wewados. Namung Ingkang Moho Kuwaos ingkang pirso. Menawi kulo mbukak wewados ibaratipun kulo mbukak lawangipun Ingkang Moho Kuwaos ( Saya ini orang bodoh, jadi saya tidak tahu kapan gunung Merapi itu akan meletus atau tidak. Sebab Merapi itu menyimpan rahasia. Hanya Tuhan yang Maha Kuasa yang tahu. Kalau saya buka rahasia, ibaratnya saya mebuka pintu rahasianya Tuhan Yang Maha Kuasa )
Menurut pemahaman Mbah Maridjan Gunung Merapi adalah pusatnya jagad di Tanah Jawa. Ia juga percaya kalau Gunung Merapi itu hidup, yang senantiasa bertambah dan berubah. Jika Gunung Merapi meletus berarti sedang berubah atau bertambah. Dalam pemahaman beliau isyarat alam yang berupa gejolak Gunung Merapi karena eyang yang lenggah di Gunung Merapi sedang hajat membangun “kraton”. Sebagai orang yang "mengerti", Mbah Maridjan pantang menggunakan istilah gunung Merapi meletus, wedhus gembel atau istilah-istilah lain yang terkesan kurang pantas, vulgar, kasar dan negatif. Mbah Maridjan menyarankan semua orang di kawasan Merapi agar membersihkan diri, membersihkan hati, tidak berbuat yang aneh-aneh, apalagi merusak alam sekitar Merapi. Kalau ingin terhindar dari bahaya maka bersahabtlah dengan alam dan jangan merusaknya.
Mbah Maridjan tidak hanya menjadi abdi dalem mewarisi tugas dari ayahnya Mas Penewu Surakso Hargo, Dia juga memakai nama Surakso Hargo yang konon memiliki arti Penjaga Gunung. Tugasnya utamanya sebagai juru kunci adalah melaksanakan upacara ritual di puncak Merapi pada saat peringatan jumenengan ( naik tahta) Sultan Hamengkubuwono setiap tanggal 30 Rejeb Tahun Saka penanggalan Jawa. Tugas lain adalah memelihara dan membersihkan dan melaksakan ritus labuhan di Paseban Labuhan Dalem dan Paseban Sri Manganti yang bewrjarak 1 kilometer dari puncak Merapi. Mengenal sang juru kunci dengan segenap pandangan cultural dan tradisional yang melekat padanya, jelas akan terlihat potret sosok orang Jawa dengan kearifannya yang khas. Sebagai abdi dalem dengan jabatan juru kunci Gunung Merapi, mbah Maridjan lebih banyak melihat fenomena alam menggunakan ketajaman naluri atau instingnya. Setelah ia wafat akhir tahun lalu, kini posisinya digantikan sang anak, Mas Asih atau Mas Lurah Suraksosihono.@@ ( Sumber Warta Kota, Kompas, UII News)
Kamis, 05 Mei 2011
SEJARAH DAN RIWAYAT SINGKAT KOTA JOGJA
Keberadaan kota Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Raden Sutawijaya atau yang kemudian lebih terkenal dengan Panembahan Senopati. Raden Sutawijaya sendiri memperoleh kekuasaan atas Mataram dari ayahnya Ki Ageng Pemanahan. Sementara Ki Ageng Pemanahan mendapat tanah perdikan bumi Mataram dari Sultan Hadiwijaya dari Pajang pada tahun 1556, karena berhasil menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549. Sepeninggal Sultan Hadiwijaya dari Pajang kemudian Raden Sutawijaya memerdekakan Mataram, terpisah dari Pajang dan memerintah sebagai raja pertama Mataram dengan bergelar Senopati Ing Alogo Kalifatulah Tanah Jawa dan berkuasa pada tahung 1587 hingga tahun 1601.
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755, antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Kemudian Pangeran Mangkubumi berkuasa sebagai Sultan Kasultanan Ngayogyakarta yang pertama dengan bergelar Sultan Hamengkubuwana I. Sultan kemudian segera membuat ibukota kerajaan beserta istananya yang baru dengan membuka daerah baru ( babat alas ) di Umbul Pacethokan kawasan Hutan Paberingan yang terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Ibukota berikut istananya tersebut dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dan landscape utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756.
Pemilihan nama Ngayogyakarta Hadiningrat ini konon juga dimaksudkan untuk menghormati tempat bersejarah kawasan Hutan Beringan itu, yang pada jaman almarhum Sri Susuhunan Amangkurat IV (Amangkurat Jawi ) merupakan kota kecil yang indah. Di dalamnya terdapat sebuah istana pesanggrahan yang terkenal dengan nama Garjitawati. Kemudian pada jaman Sri Susuhunan Paku Buwono II bertahta di Kartasura nama pesanggrahan itu diganti dari Garjitawati menjadi Ayodya atau Ngayogya, yang berarti kota yang damai, aman dan tenteram.
Kraton Kasultanan Yogyakarta mulai dibangun pada tanggal 9 Oktober 1755. Selama pembangunan keraton berlangsung, Sultan dan keluarga tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang di daerah Gamping, kurang lebih selama satu tahun. Pada hari Kamis Pahing, tanggal 7 Oktober 1756 selama satu tahun. Meski belum selesai dengan sempurna, Sultan dan keluarga berkenan menempatinya. Peresmian di saat raja dan keluarganya menempati kraton ditandai dengan candra sangkala Dwi Naga Rasa Tunggal Dalam tahun Jawa sama dengan 1682, tanggal 13 Jimakir yang bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1756.
Setelah kraton mulai ditempati kemudian berdiri pula bangunan-bangunan lain, kraton dikelilingi oleh tembok yang tebal yang disebut Benteng Baluwerti. Di dalamnya terdapat beberapa bangunan dengan aneka rupa dan fungsi. Bangunan kediaman sultan dan kerabat dekatnya dinamakan Prabayeksa, selesai dibangun tahun 1546. Bangunan Sitihinggil dan Pagelaran selesai dibangun tahun 1757. Gapura penghubung Dana Pertapa dan Kemagangan selesai tahun 1751 dan 1763. Masjid Agung didirikan tahun 1771. Benteng besar yang mengelilingi kraton selesai tahun 1777. Bangsal Kencana selesai tahun 1792. Demikian kraton Yogyakarta berdiri dengan perkembangan yang senantiasa terjadi dari waktu ke waktu.
Menyusul kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, kemudian pada tanggal 5 September 1945 Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku raja Ngayogyakarta Hadiningrat dan Sri Paku Alam VIII sebagai adipati kabupaten Pakualaman mengeluarkan dekrit yang menyatakan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman menjadi bagian dari NKRI. Sehari kemudian pada tanggal 6 September 1945 Presiden Sukarno menjawab dengan piagam penetapan yang mengakui Yogyakarta sebagai daerah istimewa. Pada tanggal 4 Maret 1950 terbit UU No.3 tahun 1950 yang berisi penetapan Daerah Istimewa Yogyakarta. ( Sumber: Situs B Vredeburg, Wikipedia, Media Indonesia )
REGOL, ANTARA GERBANG DAN PEMERSATU BANGUNAN ISTANA KRATON JOGJA
Regol adalah pintu gerbang yang berbentuk paduraksa yaitu gapura yang memiliki atap dan daun pintu. Konon regol merupakan pintu gerbang untuk memasuki suatu tempat yang di anggap sakral. Di istana kraton Yogyakarta terdapat beberapa regol yang merupakan pintu penghubung suatu komplek bangunan dengan komplek bangunan yang lain, sehingga semua unsur bangunan di dalam komplek kraton itu tidak berdiri sendiri tetapi menjadi satu kesatuan yang utuh.
Regol juga tak sekedar pintu atau gapura semata, tetapi juga memiliki makna filosofi . Konon antara gapura Gladak hingga Regol Donopratopo menggambarkan tujuh langkah menuju surga (seven step to heaven). Regol Donopratopo sendiri konon berarti seseorang yang baik selalu memberikan kepada orang lain dengan sukarela dan mampu menghilangkan hawa nafsu. Dua patung Dwarapala yang terdapat disamping gerbang, Balabuta menggambarkan keburukan dan Conkorobolo menggambarkan kebaikan.
Secara berurutan regol-regol itu bisa dijelaskan sebagai berikut :
Regol Brojonolo adalah penghubung antara Siti Hinggil Ler dengan Kamandhungan Ler, dimana bangsal ini dahulu berfungsi untuk mengadili perkara dengan ancaman hukuman mati dengan Sultan sendiri yang memimpin pengadilan. Dan konon gerbang ini hanya dibuka pada saat-saat tetentu saja misalnya pada saat acara-acara resmi kerajaan. Kemudian ada Regol Sri Manganti yang menghubungkan antara Kamandhungan dengan komplek Sri Manganti yang konon pada zamannya digunakan untuk menerima tamu-tamu penting.
Lebih kedalam lagi ada Regol Donopratopo yang menghubungkan komplek Sri Manganti dengan Kedhaton, kediaman keluarga sultan yang tertutup untuk umum. Regol ini menjadi demikian penting karena didepannya berdiri sepasang arca raksasa yang dinamakan Cinkorobolo disebelah timur dan Bolobuto disebelah barat. Dan disisi timurnya juga terdapat pos penjagaan. Komplek Kedhaton menjadi sangat penting karena menjadi inti dari keseluruhan kraton. Komplek kedhaton dibagi menjadi tiga halaman yaitu Pelataran kedhaton, Keputren dan Kesatriyan. Di pelataran Kedhaton terdapat Bangsal Kencono yang tertutup untuk umum.
Kemudian ada Regol Kemagangan yang menghubungkan komplek Kedhaton dengan Bangsal Kemagangan. Bangsal ini pada jamannya digunakan untuyk penerimaan para pegawai, tempat berlatih serta apel kesetiaan para abdi dalem dan pegawai magang. Dan selanjutnya ada Regol Gadung Mlati yang menghubungkan komplek Kamagangan dengan Kamandungan Kidul Di komplek ini terdapat bangunan utama yaitu Bangsal Kamandhungan, bangsal ini konon berasal dari pendapa balai desa Pandak Karang Nangka di daerah Sukowati yang pernah menjadi tempat Sultan HB I bermarkas saat perang tahta. Disisi selatan Kamandhungan kidul terdapat Regol Kamandungan yang menjadi pintu paling selatan dari komplek Cepuri.@@ ( dari berbagai sumber ).
Minggu, 01 Mei 2011
YOGYAKARTA, ASAL-MUASAL KATA DAN MAKNANYA
Kota Yogyakarta konon bermula dari sebuah mata air bernama Umbul Pacethokan di sebuah hutan kecil yang bernama Alas Paberingan. Di tempat ini mula-mula didirikan sebuah pesanggrahan untuk tempat peristirahatan Sunan Pakubuwono II, dengan diberi nama Pesanggrahan Garjitawati. Tempat ini dahulu juga dipergunakan sebagai tempat istirahat pada saat pemakaman bangsawan dan raja-raja Mataram yang telah wafat, di makam Imogiri. Untuk selanjutnya beliau mengganti nama Garjitawati dengan nama Ngayogya atau Ayogya. Nama Ngayogyakarta ditafsirkan berasal dari dua kata yaitu kata Ayuda dan Karta. Kata “a” berarti tidak dan “yuda” berarti perang. Jadi kata “Ayuda” mengandung pengertian tidak ada perang atau dalam hal ini adalah damai. Sedangkan “Karta” berarti aman dan tenteram. Jadi Ngayogyakarta dapat diartikan sebagai “tempat yang damai, aman dan tenteram”.
Untuk selanjutnya tempat ini dikenal dengan nama Ngayogyakarta Hadiningrat, setelah terjadinya perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1775 silam, yang memecah kerajaan Mataram menjadi dua sebelah barat dan timur. Sebelah barat menjadi Kasultanan Ngayogyakarta dan sebelah timur menjadi Kasunanan Surakarta. Kasunanan Surakarta diperintah oleh Sri Susuhunan Pakubuwono dan Kasultanan Ngayogyakarta di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri sultan Hamengkubuwono I. Pemilihan nama ini konon juga dimaksudkan untuk menghormati tempat bersejarah kawasan Alas Beringan itu, yang pada jaman almarhum Sri Susuhunan Amangkurat Jawi (Amangkurat IV) merupakan kota kecil yang indah. ( Dari: Situs B Vredeburg, Wikipedia
Langganan:
Postingan (Atom)